Oleh : Zaini (Panglima Tombak)
Kabarina.com – Jambi – Belakangan ini muncul opini yang menyebut bahwa status verifikasi Dewan Pers berpotensi melahirkan “kasta baru dalam dunia pers”, bahkan dianggap sebagai upaya monopoli ruang publik. Pandangan ini, meski mengandung kritik, sesungguhnya keliru dan perlu diluruskan agar publik tidak salah memahami esensi dari verifikasi media.
Verifikasi Dewan Pers bukanlah soal siapa yang lebih tinggi atau lebih rendah, melainkan instrumen standar profesional untuk memastikan media bekerja sesuai etika jurnalistik. Sama halnya dengan profesi dokter yang wajib memiliki izin praktik, atau advokat yang wajib tergabung dalam organisasi profesi, media pun perlu memiliki dasar legitimasi yang diakui hukum. Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kebebasan pers dijamin, tetapi pers juga memiliki kewajiban untuk menaati Kode Etik Jurnalistik. Verifikasi memastikan kewajiban ini ditegakkan. Tanpa standar itu, masyarakat akan kesulitan membedakan antara jurnalisme profesional dan sekadar konten abal-abal.
Kebebasan pers juga tidak berarti kebebasan tanpa batas. Teori social responsibility of the press (McQuail, 2010) menegaskan bahwa pers harus tunduk pada prinsip tanggung jawab sosial. Media yang terverifikasi tunduk pada mekanisme Dewan Pers: ada alamat jelas, penanggung jawab redaksi, serta prosedur penyelesaian sengketa pers. Sebaliknya, riset Wardhani (2020, Jurnal Ilmu Komunikasi UGM) menunjukkan banyak media non-verifikasi yang beroperasi tanpa transparansi, sehingga rawan memproduksi clickbait atau berita pesanan. Dalam kondisi ini, publik justru terancam oleh disinformasi jika semua media diperlakukan sama tanpa standar.
Tidak ada yang menyangkal peran media komunitas, aktivis, atau kreator digital dalam menyuarakan isu-isu akar rumput. Namun, karya mereka tetap harus dibedakan dari jurnalisme profesional. Menyamakan semua produk informasi tanpa standar sama saja mengaburkan batas antara berita dan opini, antara fakta dan propaganda. Alih-alih menolak verifikasi, yang lebih sehat adalah mendorong media lokal untuk melengkapinya. Kajian Nugroho dkk. (2019, Centre for Innovation Policy and Governance) menyebut bahwa justru media kecil dan lokal paling diuntungkan dengan status verifikasi, karena mendapat legitimasi sekaligus perlindungan hukum ketika berhadapan dengan tekanan politik maupun kriminalisasi.
Pandangan bahwa verifikasi adalah bentuk represi administrasi justru terbalik. Faktanya, verifikasi memberi perlindungan bagi jurnalis. Dalam berbagai kasus sengketa, seperti yang tercatat dalam Laporan Tahunan Dewan Pers (2022), status verifikasi menjadi dasar kuat bagi jurnalis untuk lolos dari jeratan UU ITE maupun tuntutan pidana. Kritik bahwa ada media terverifikasi yang partisan memang valid. Tetapi solusinya bukan menolak verifikasi, melainkan memperkuat mekanisme sanksi etika. Menyalahkan sistem verifikasi hanya karena segelintir media menyalahgunakannya ibarat menolak keberadaan SIM hanya karena ada sopir berlisensi yang melanggar lalu lintas.
Benar bahwa integritas adalah kunci utama dalam jurnalisme. Namun integritas tanpa legalitas membuat jurnalis rentan, sementara legalitas tanpa integritas membuat media kehilangan kepercayaan publik. Karena itu, integritas dan legalitas tidak boleh dipertentangkan—keduanya harus berjalan beriringan.
Verifikasi Dewan Pers bukanlah legitimasi monopoli, melainkan standar profesional agar pers benar-benar menjadi pilar demokrasi keempat. Yang berbahaya justru narasi yang menolak standar, karena berpotensi membuka ruang bagi misinformasi dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pers. Kebebasan pers sejati bukanlah kebebasan liar tanpa tanggung jawab, melainkan kebebasan yang ditopang oleh etika, profesionalisme, dan mekanisme akuntabel.