Verifikasi Media Bukan Monopoli, Tapi Perlindungan Publik

- Penulis

Kamis, 21 Agustus 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Zaini (Panglima Tombak)

Kabarina.com – Jambi – Belakangan ini muncul opini yang menyebut bahwa status verifikasi Dewan Pers berpotensi melahirkan “kasta baru dalam dunia pers”, bahkan dianggap sebagai upaya monopoli ruang publik. Pandangan ini, meski mengandung kritik, sesungguhnya keliru dan perlu diluruskan agar publik tidak salah memahami esensi dari verifikasi media.

Verifikasi Dewan Pers bukanlah soal siapa yang lebih tinggi atau lebih rendah, melainkan instrumen standar profesional untuk memastikan media bekerja sesuai etika jurnalistik. Sama halnya dengan profesi dokter yang wajib memiliki izin praktik, atau advokat yang wajib tergabung dalam organisasi profesi, media pun perlu memiliki dasar legitimasi yang diakui hukum. Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kebebasan pers dijamin, tetapi pers juga memiliki kewajiban untuk menaati Kode Etik Jurnalistik. Verifikasi memastikan kewajiban ini ditegakkan. Tanpa standar itu, masyarakat akan kesulitan membedakan antara jurnalisme profesional dan sekadar konten abal-abal.

Baca Juga  Ketua DPRD Imbau Masyarakat Waspada Banjir, Minta Pemkot Prioritaskan Penanganan

Kebebasan pers juga tidak berarti kebebasan tanpa batas. Teori social responsibility of the press (McQuail, 2010) menegaskan bahwa pers harus tunduk pada prinsip tanggung jawab sosial. Media yang terverifikasi tunduk pada mekanisme Dewan Pers: ada alamat jelas, penanggung jawab redaksi, serta prosedur penyelesaian sengketa pers. Sebaliknya, riset Wardhani (2020, Jurnal Ilmu Komunikasi UGM) menunjukkan banyak media non-verifikasi yang beroperasi tanpa transparansi, sehingga rawan memproduksi clickbait atau berita pesanan. Dalam kondisi ini, publik justru terancam oleh disinformasi jika semua media diperlakukan sama tanpa standar.

Tidak ada yang menyangkal peran media komunitas, aktivis, atau kreator digital dalam menyuarakan isu-isu akar rumput. Namun, karya mereka tetap harus dibedakan dari jurnalisme profesional. Menyamakan semua produk informasi tanpa standar sama saja mengaburkan batas antara berita dan opini, antara fakta dan propaganda. Alih-alih menolak verifikasi, yang lebih sehat adalah mendorong media lokal untuk melengkapinya. Kajian Nugroho dkk. (2019, Centre for Innovation Policy and Governance) menyebut bahwa justru media kecil dan lokal paling diuntungkan dengan status verifikasi, karena mendapat legitimasi sekaligus perlindungan hukum ketika berhadapan dengan tekanan politik maupun kriminalisasi.

Baca Juga  Terpilih Ketua ADPMET, Gubernur Al Haris Dorong Regulasi Energi Pro-Rakyat

Pandangan bahwa verifikasi adalah bentuk represi administrasi justru terbalik. Faktanya, verifikasi memberi perlindungan bagi jurnalis. Dalam berbagai kasus sengketa, seperti yang tercatat dalam Laporan Tahunan Dewan Pers (2022), status verifikasi menjadi dasar kuat bagi jurnalis untuk lolos dari jeratan UU ITE maupun tuntutan pidana. Kritik bahwa ada media terverifikasi yang partisan memang valid. Tetapi solusinya bukan menolak verifikasi, melainkan memperkuat mekanisme sanksi etika. Menyalahkan sistem verifikasi hanya karena segelintir media menyalahgunakannya ibarat menolak keberadaan SIM hanya karena ada sopir berlisensi yang melanggar lalu lintas.

Baca Juga  Pendayung Jambi Sabet Juara Pertama di Festival Pacu Jalur Kuantan 2025

Benar bahwa integritas adalah kunci utama dalam jurnalisme. Namun integritas tanpa legalitas membuat jurnalis rentan, sementara legalitas tanpa integritas membuat media kehilangan kepercayaan publik. Karena itu, integritas dan legalitas tidak boleh dipertentangkan—keduanya harus berjalan beriringan.

Verifikasi Dewan Pers bukanlah legitimasi monopoli, melainkan standar profesional agar pers benar-benar menjadi pilar demokrasi keempat. Yang berbahaya justru narasi yang menolak standar, karena berpotensi membuka ruang bagi misinformasi dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pers. Kebebasan pers sejati bukanlah kebebasan liar tanpa tanggung jawab, melainkan kebebasan yang ditopang oleh etika, profesionalisme, dan mekanisme akuntabel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Hadiri Maulid Nabi di Ponpes Kumpeh Daaru At-Tauhid, Gubernur Al Haris Ajak Perkuat Peran Pesantren
Hipmi Kota Jambi Gelar Diklatcab, Wali Kota Jambi Dukung Pengusaha Muda
Momen Haru, Dipandu Wali Kota Jambi Warga Tionghoa Bersyahadat Resmi Masuk Islam
Pasar TAC: Antara Revitalisasi Fisik dan Reimajinasi Kehidupan
Hesti Haris Apresiasi Inovasi Rumah Kreatif Nekno Olah Limbah Sawit
Wali Kota Jambi Pastikan Balita Hidrosefalus Dapat Layanan Medis Optimal
Pimpinan BAZNAS Jambi Resmi Dilantik, Gubernur Al Haris Minta Tata Kelola Profesional
Demo di Jambi Masih Bergejolak, Massa Kembali Geruduk Gedung DPRD

Berita Terkait

Sabtu, 6 September 2025 - 20:22 WIB

Hadiri Maulid Nabi di Ponpes Kumpeh Daaru At-Tauhid, Gubernur Al Haris Ajak Perkuat Peran Pesantren

Sabtu, 6 September 2025 - 19:00 WIB

Hipmi Kota Jambi Gelar Diklatcab, Wali Kota Jambi Dukung Pengusaha Muda

Jumat, 5 September 2025 - 17:00 WIB

Momen Haru, Dipandu Wali Kota Jambi Warga Tionghoa Bersyahadat Resmi Masuk Islam

Selasa, 2 September 2025 - 21:05 WIB

Hesti Haris Apresiasi Inovasi Rumah Kreatif Nekno Olah Limbah Sawit

Selasa, 2 September 2025 - 20:14 WIB

Wali Kota Jambi Pastikan Balita Hidrosefalus Dapat Layanan Medis Optimal

Pos Terbaru