Oleh : Gibran Fadilla Hernanda, S.Pd
Mahasiswa Magister Pendidikan Ekonomi FEB UNJ
Jakarta, Industri aset kripto Indonesia memasuki era baru setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara resmi mengambil alih pengawasan sektor ini mulai 10 Januari 2025. Pengalihan kewenangan ini menggantikan peran Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) No. 49 Tahun 2024 dan POJK No. 27 Tahun 2024.
Dengan mandat tersebut, OJK kini memegang kendali penuh atas regulasi, pendaftaran, dan pengawasan seluruh pelaku pasar aset digital termasuk bursa, kustodian, hingga pedagang fisik aset kripto (DFA). Sejumlah platform besar seperti Indodax, Tokocrypto, Upbit, dan Pintu kini berada di bawah pengawasan langsung otoritas.
Masa transisi pengalihan pengawasan ini akan berlangsung hingga Juli 2025. Selama periode ini, pelaku industri kripto diwajibkan untuk menyesuaikan diri dengan aturan baru terkait pengelolaan data, perlindungan konsumen, serta proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
Lonjakan Global, Tantangan Nasional
Di tengah pengetatan regulasi domestik, pasar kripto global justru menunjukkan tren menguat. Dalam sepekan terakhir, aliran dana investor ke aset digital mencapai US$2,7 miliar, dengan Bitcoin menyumbang sekitar US$2,2 miliar dan Ethereum US$429 juta. Lonjakan ini dipicu oleh ketegangan geopolitik global serta spekulasi pasar terhadap pelonggaran suku bunga oleh bank-bank sentral besar.
Harga Bitcoin terpantau stabil di kisaran US$107 ribu, didorong oleh sentimen teknikal bullish dan optimisme investor akan potensi breakout harga pada Juli. Sementara itu, altcoin seperti Pudgy Penguins (PENGU), BULLA, dan Jupiter (JUP) menunjukkan pertumbuhan signifikan—mengindikasikan minat investor yang meluas terhadap aset digital non-Bitcoin.
Namun, pertumbuhan pesat ini turut menimbulkan tekanan bagi stabilitas makroekonomi nasional, khususnya efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia.
Kripto dan Dilema Kebijakan Moneter
Dalam kerangka pengelolaan ekonomi makro, Bank Indonesia mengandalkan instrumen suku bunga, operasi pasar terbuka, dan pengendalian likuiditas untuk menjaga kestabilan harga dan nilai tukar. Namun, kehadiran kripto sebagai alat simpan nilai dan sarana transfer lintas batas berpotensi mengurangi permintaan terhadap rupiah serta melemahkan transmisi kebijakan suku bunga ke sektor riil.
Menurut teori permintaan uang dan model IS-LM dalam sistem terbuka, fenomena ini bisa menyebabkan penurunan efektivitas kebijakan moneter terhadap permintaan agregat. Hal ini diperparah oleh fenomena trilema moneter yaitu ketidakmungkinan untuk secara bersamaan mempertahankan stabilitas nilai tukar, kebebasan arus modal, dan independensi moneter.
Aset kripto memperkenalkan bentuk baru arus modal digital yang sulit diawasi. Selain meningkatkan volatilitas nilai tukar, hal ini juga dapat memperbesar sektor ekonomi bayangan (shadow economy), menyulitkan otoritas moneter dan fiskal dalam memperkirakan likuiditas serta menyusun kebijakan yang akurat.
Strategi Hadapi Disrupsi Kripto
Sebagai langkah antisipatif, Bank Indonesia tengah mempersiapkan penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC) dalam bentuk Digital Rupiah. Inisiatif ini bertujuan menghadirkan instrumen pembayaran digital resmi yang stabil dan terintegrasi dalam sistem keuangan nasional.
Selain itu, sinergi antarlembaga menjadi kunci. Penguatan integrasi data antara OJK, Bank Indonesia, dan Direktorat Jenderal Pajak diperlukan guna meningkatkan transparansi transaksi aset digital dan mempersempit ruang gerak pelaku pasar non-regulatif. Pemerintah juga diimbau untuk terus mengedukasi masyarakat tentang risiko berinvestasi di aset kripto, sembari memperkuat diplomasi kebijakan dalam forum internasional seperti G20 dan IMF.
Menuju Ekosistem Kripto yang Seimbang
Regulasi yang semakin ketat dan tantangan terhadap stabilitas makroekonomi menjadi dua sisi mata uang dalam perkembangan industri kripto di Indonesia. Di tengah derasnya transformasi digital global, Indonesia dituntut untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekosistem kripto dengan perlindungan terhadap sistem keuangan nasional.
Ke depan, sinergi antarlembaga, penguatan regulasi berbasis data, serta kebijakan moneter yang adaptif akan menjadi fondasi penting dalam menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia di era digital.