Kabarina.com – Polemik dugaan pencemaran limbah tambang yang menyeret nama PT Kuansing Inti Makmur (KIM) di Kabupaten Bungo memasuki fase yang semakin serius. Selama lima tahun terakhir, puluhan hektare lahan perkebunan milik warga diduga tertutup lumpur dan tidak lagi mampu menghasilkan panen. Setelah berbagai upaya yang disebut tidak digubris pihak perusahaan, warga akhirnya menempuh langkah hukum.
H. Efendi, yang akrab dikenal sebagai Pen Hitam, figur masyarakat setempat yang kini menjadi perwakilan 24 warga terdampak. Atas mandat warga, ia resmi menunjuk Kantor Hukum Paisal SH, MH & Partners sebagai kuasa hukum untuk menindaklanjuti kasus yang sudah berlangsung lebih dari setengah dekade ini. Pada 8 Desember 2025, pihak kuasa hukum mengirimkan somasi resmi kepada PT KIM sebagai bentuk tuntutan pertama sebelum perkara ini berlanjut ke ranah hukum berikutnya.
Dalam salinan somasi yang diterima redaksi, para pemilik kebun menyatakan bahwa perusahaan diduga telah lalai dalam mengelola lingkungan sekitar area tambang. Kelalaian tersebut mengakibatkan timbunan lumpur memenuhi kebun-kebun warga, sehingga aktivitas pertanian terhenti total. Beberapa warga mengaku tidak lagi memanen hasil kebun selama bertahun-tahun, padahal lahan tersebut menjadi satu-satunya sumber ekonomi keluarga.
“Ini bukan persoalan baru. Sudah berlangsung lima tahun, dan sampai sekarang belum ada penyelesaian. Puluhan hektare kebun milik klien kami tidak bisa menghasilkan apa pun karena tertutup lumpur,” tegas Paisal, didampingi Rizki Kurnia, di kantor Paisal & Partners, Komplek Bungo Plaza Hotel (dahulu Wiltop).
Menurut Paisal, warga telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada manajemen PT KIM sejak 19 Oktober 2019, berisi permintaan pertanggungjawaban serta permohonan penghentian sementara aktivitas tambang untuk mencegah kerusakan yang lebih luas. Namun upaya tersebut, termasuk komunikasi pribadi dan surat resmi lainnya, disebut tidak membuahkan hasil.
Rizki Kurnia, selaku pendamping hukum, menegaskan bahwa langkah somasi merupakan bagian dari keinginan warga untuk menyelesaikan masalah secara baik-baik. Ia mengaku pihaknya masih membuka ruang dialog dengan perusahaan.
“Kami berharap persoalan ini bisa dibahas secara dewasa. Duduk bersama, mencari titik temu, menemukan kesepakatan. Bagaimanapun, klien kami telah mengalami kerugian besar dan butuh kejelasan penyelesaian,” ungkap Rizki.
Sebelum somasi dikirimkan, tim hukum telah melakukan pemeriksaan lapangan dan meminta keterangan langsung dari warga terdampak. Peninjauan tersebut menghasilkan indikasi adanya pembiaran terhadap kondisi lingkungan sekitar operasi tambang, yang disebut merugikan masyarakat.
“Kami telah melihat langsung kondisi di lapangan dan menemukan indikasi pembiaran. Ini sangat merugikan klien kami. Karena itu, kami mendorong agar dilakukan perhitungan kerugian oleh akuntan eksternal yang kompeten, sehingga nominal kerugian dapat ditetapkan secara objektif dan bisa diterima oleh semua pihak,” jelas Paisal.
Meskipun laporan dan keluhan warga sudah berlangsung bertahun-tahun, hingga kini belum ada dialog terbuka di antara kedua pihak. Kuasa hukum menegaskan bahwa somasi merupakan kesempatan terakhir bagi perusahaan untuk menjalin komunikasi sebelum perkara berpotensi dibawa ke ranah perdata maupun pidana.
“Somasi ini adalah kesempatan. Kami berharap PT KIM merespons secara terbuka dan konstruktif,” kata Paisal.
Kasus ini menjadi perhatian publik, mengingat skala kerusakan yang disebut mencapai puluhan hektare serta dampak ekonomi signifikan bagi keluarga yang menggantungkan hidup pada kebun mereka.(*)











