Kabarina.com – Pernyataan mengejutkan dilontarkan Kepala Dinas ESDM Provinsi Jambi, Tandry Adi Negara, yang mengklaim bahwa Kabupaten Merangin memiliki sekitar 7.000 sumur minyak rakyat. Angka tersebut menjadi bagian dari total 8.500 sumur yang disebut tersebar di Merangin, Sarolangun (700 sumur), dan Batanghari (800 sumur) seperti yang dituliskan beberapa media di Provinsi Jambi, Namun alih-alih menuai apresiasi, pernyataan ini justru memicu kritik dan kegaduhan di ruang publik.
Perkumpulan Elang Nusantara menjadi salah satu pihak yang lantang bersuara. Mereka menilai klaim 7.000 sumur tersebut tidak masuk akal dan tidak disertai dengan transparansi data yang memadai. Direktur Eksekutif Elang Nusantara, Risma Pasaribu, menegaskan bahwa publik berhak tahu lokasi, metode pendataan, dan siapa saja pihak yang terlibat dalam proses verifikasi.
“Klaim besar tanpa bukti hanyalah narasi kosong. Jika benar ada 7.000 sumur, buka peta sebarannya! Jelaskan datanya! Jangan sembunyi di balik angka dan retorika,” tegas Risma.
Nada serupa disampaikan Irwanda Nauufal Idris, Ketua DPW Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia, yang menyebut pernyataan Kadis ESDM tidak hanya membingungkan, tapi juga berpotensi menyesatkan opini publik.
Lebih jauh, publik mempertanyakan: Jika benar ada ribuan sumur minyak rakyat, di mana dokumen lingkungan seperti AMDAL atau UKL-UPL? Bagaimana pengawasan terhadap limbahnya? Dan yang paling penting, bagaimana kontribusinya terhadap PAD selama ini?
Tanpa jawaban yang transparan, klaim ini dikhawatirkan menjadi alat pembenaran politis semata alih-alih mewujudkan tata kelola energi yang adil, akuntabel, dan berpihak pada rakyat serta lingkungan.
Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2025 memang memberi arah legalisasi sumur rakyat melalui badan hukum seperti BUMD, koperasi, atau UMKM. Namun, jika legalisasi ini justru menutupi praktik ilegal dan menggiring sumber daya alam ke dalam penguasaan kelompok tertentu, maka legitimasi kebijakan itu patut dipertanyakan.
Klaim data tanpa transparansi hanyalah kabut. Publik butuh kejelasan, bukan angka yang dipakai sebagai pelindung retorika. Sumur rakyat bukan milik segelintir elite—ia milik masyarakat, dan harus dikelola secara adil serta terbuka.
Klaim adanya 7.000 sumur minyak rakyat di Merangin tak hanya soal validitas data, tapi juga mencerminkan kekacauan dalam tata kelola sumber daya alam. Jika benar angka itu eksis, maka kita sedang menghadapi ironi besar: aktivitas eksplorasi dan eksploitasi skala besar berlangsung tanpa dasar hukum, tanpa pengawasan lingkungan, dan tanpa kontribusi jelas ke kas daerah.
Artinya, sumur-sumur ini bukan hanya sekadar titik eksploitasi minyak, tapi bisa jadi juga merupakan titik-titik gelap yang selama ini lolos dari regulasi dan perizinan formal.
Jika Dinas ESDM menyebut ini sebagai bagian dari proses “legalisasi”, maka legalisasi apa yang dimaksud? Legal menurut siapa? Dan untuk kepentingan siapa?
Jangan sampai kebijakan legalisasi hanya menjadi karpet merah bagi pihak-pihak tertentu yang sebelumnya beroperasi ilegal untuk kemudian “dihalalkan” dengan narasi kemitraan bersama BUMD atau koperasi bentukan elite.